
Suatu hari saya pernah cerita ke seseorang yang notabene memang ahli di bidang tulis-menulis, seorang pujangga, sekaligus pemilik rumah penerbitan baru-baru ini. Di obrolan saya itu, sempat saya curhat bahwa saya kesulitan saat mengungkapkan gagasan atau bahkan sampah-sampah pikiran saya dalam suatu tulisan, ketika tulisan itu nantinya akan ter-publish di ranah web 2.0 alias situs online. Saya sempat putus asa, takut mengungkapkan ide bahkan bertendensi untuk menyimpannya sebagai draft saja di folder saya.
Dan seseorang itu malah menertawai kekonyolan saya, katanya:”menulis itu kan ungkapan bahagia yang kita rasakan, kita apreasiasikan dalam rangkaian kata-kata” . Jadi kenapa kita menulis terus kemudian menjadi susah karenanya?. Kenapa terus berpikiran menulis untuk membuat orang lain senang? Bukan seharusnya membuat kita merasa bahagia dan lega.
Saya pun mengangguk setuju, tanda mengerti. Saya pun makin paham bagaimana rangkaian kata-kata tadi bisa menjadi suatu kekuatan bila berasal dari hati, jujur apa adanya. Walau kadang masih harus banyak belajar tentang pemilihan kata yang tepat dan merangkaikan dengan lugas tanpa mengaburkan maknanya.
Blog, bagi saya adalah seperti catatan-catatan kecil tentang apa yang sedang saya alami atau apa terlintas di otak saya. Kalau katanya gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang dan kalau nanti saya mati mudah-mudahan meninggalkan jejak, yah ini, tulisan-tulisan sampah saya ini. Jadi bisa dibilang lewat tulisan di blog ini mungkin sebagai gambaran atau ungkapan seberapa banyak saya mengerti tentang hidup yang sedang saya jalani.
Kembali ke menulis di ranah situs online tadi. Yang namanya online, dan notabene di baca oleh banyak orang, sudah sepantasnya kita berhati-hati dengan apa yang kita tulis dan kita bagikan. “Menulis tapi pake hati” tulis slogan di salah satu situs yang saya ikuti. Dan saya berusaha untuk terus jujur dengan tulisan saya. BE POSITIVE, itu saja. Kalo ada yang bilang “mencoba menulis seperti layaknya berbicara”, saya koq malah kurang setuju dengan kalimat itu. Pasalnya karena saya bukanlah orang yang mampu berbicara bijak secara spontan, saya butuh waktu sesaat untuk mencerna sebuah percakapan dan kemudian menanggapinya. Sehingga yang terjadi justru sebaliknya, saya menjadi pribadi yang tak bisa ber-argumen secara frontal. Saya ingin belajar menghargai perasaan orang, ber-empati tepatnya. Sehingga bagi saya menulis menjadi media mengungkapkan ide, sanggahan atau tanda setuju saya, tentu saja dengan kata-kata yang lugas tanpa menyakiti.
Saat ada yang menuliskan sesuatu di ranah online dengan kata-kata yang keras dan blak-blakan, mohon maaf, saya bisa bilang “anda bukan menulis, tapi berteriak”; and do you know sometimes the word you say can hurt peoples feeling??. Padahal yang kita butuhkan cuma satu, “behave”, Jadi belajarlah untuk mengungkapan dengan MANIS. Pilihlah kata-kata yang bijak, yang membuat adem, karena dengan begitu pe-maknaan ditulisan tadi jadi tidak salah kaprah.
*akhirnya saya bikin tulisan “asli nyampah” kali ini, setelah bosen dengan kehebohan di lapak sebelah yang ternyata setelah “kopdaran” malah merasa jadi orang “penting” dan nulis ga pake hati dengan alasan “bosen dengan keadaan”. *cihhhh…
0 komentar:
Post a Comment