October 13, 2010

from Hi-So to mainstream...

by uLLy di 6:39 pm

Menonton di acara Festival Film punya keasyikan tersendiri bagi saya. Disamping thema-thema yang disodorkan juga amat bervariasi dan bisa dijadikan ajang menambah wawasan tentang dunia per-film-an itu sendiri, tapi bisa melihat sisi lain dari kehidupan masyarakat di berbagai negara juga. Seperti kali ini, saya berkesempatan nonton salah satu film ber-genre drama dari Thailand. Hasil besutan Sutradara yang bernama Aditya Assarat yang diberi judul Hi-So. Judulnya sendiri merupakan singkatan dari High-Society. Kita mungkin mengenalnya sebagai komunitas anak-anak borju. Kehidupan mereka yang selalu dikaitkan dengan berbagai fasilitas “wah” seperti tinggal di apartemen mewah, bermobil mewah dan berpakaian branded. Di Thailand, komunitas ini sangat terkenal dan cenderung diasumsikan negatif oleh orang-orang.

Cerita yang diusung pun sangat sederhana, yakni tentang “Personality” dari seorang pemuda yang menghabiskan masa mudanya dengan hidup dan mengecap pendidikan di luar negeri. Dan sewaktu dia kembali ke negara asalnya dia dianggap berbeda dan sok ke- “American-boy”-an oleh orang-orang sekitarnya. Padahal, dia sebenarnya punya keinginan untuk berkarir di negaranya sendiri. Tapi berbagai penolakan bergantian menghadangnya, tak terkecuali oleh pacarnya sendiri. Dan pada akhirnya si pemuda memutuskan untuk meninggalkan negerinya sendiri dan menetap di luar negeri untuk selamanya. Pengalaman ini pulalah yang dialami oleh sang Sutradara hingga menginspirasinya untuk membuat film seperti ini. Hi-So yang ada di imajinasi si sutradara bukanlah semata mengenai predikat yang melekat di diri dia, for him, it's all not make a sense, but what’s in your mind, that’s the most important, ujarnya.

Mungkin pemikiran semacam ini juga pernah singgah di kepala kita, saat kita melihat teman-teman kita yang balik dari menimba ilmu di negeri asing, bekerja atau bahkan menetap di negeri asing. Mungkin saat mereka kembali, ada yang mengusung warna sok kebarat2an atau sok ke-korea2an barangkali. Namun tak sedikitnya mereka kembali dengan harapan baru untuk membangun kehidupan yang lebih baik dan syukur-syukur bisa memberikan padangan baru yang lebih positif. Namun, padangan-pandangan negatif sering kali dilemparkan ke mereka. Padahal kehidupan itu berkembang, dinamis. Kalau dulu banyak orang-orang yang lahir di Indonesia tapi ga pernah merantau bahkan keluar dari tanah kelahirannya sekalipun. Tapi sekarang ini, lihat saja berapa banyak orang-orang yang melanjutkan hidup dengan cara belajar ke luar negeri, bekerja atau menikah dengan orang asing. Dan orang-orang ini sudah menyebar keberbagai negara di dunia dan mereka tidak dikelompokkan berdasarkan kebangsaannya tapi berdasarkan tingkat pendidikan (education), kesukaan (taste) dan kesempatan (opportunity). Di twitter atau di FB saya punya sekitar 500an teman. Dan mereka itupun berasal dari suku-suku yang berbeda di Indonesia dan ada juga yang sedang tidak tinggal di Indonesia. Kami terhubung karena memiliki kesukaan yang sama akan genre-film, genre-musik atau bahkan buku.

Waktu berputar dengan sangat cepat, tiap tahunnya akan memberikan perubahan. Seperti Polaroid, pada saat kita menjepret wajah kita, hasilnya sudah dianggap sebagai karya masa yang lampau. Dikehidupan nyata pun demikian, kita tak lepas dari kehidupan masa lalu dan masa depan, dan sekarang kita berada di pertengahan. I feel it : old things dying away, new things being formed. Jadi kenapa kita tidak mencoba mengekspresikan perubahan-perubahan baik yang ada di sekeliling kita tanpa dianggap menjadi sesuatu yang aneh.

Seperti saat ini, kita seringkali bilang kalau Indonesia itu bangsa yang besar, padahal kita ga mau menjadi besar dengan itu. Setiap perubahan yang terjadi kadang kala dinilai dengan negatif, dianggap memungkiri hirearki bangsa dan bereaksi kontra terhadapnya. Padahal Indonesia itu berbeda. Lihat saja dari Sabang sampai Merauke, from the sea and the sky of the south to the dense gray and glass blocks of the city, the disparity is staring you in the face.

Lalu kalau ada yang bertanya: ”apakah tulisan seperti ini akan memberikan perubahan pandangan bagi orang yang membacanya?”. Saya akan menjawab “IYAH” dengan berbohong. Kenyataannya mungkin hanya beberapa orang di komunitas ini yang akan baca tulisan ini, atau beberapa orang yang melakukan blogwalking ke blog saya saja. Tetapi saya yakin, di masa mendatang, akan banyak orang yang bergabung di komunitas-komunitas pembaharuan. It might become so big it will no longer be a tribe, but the mainstream. Sehingga pada akhirnya kita akan bisa menarik diri kita dari Polaroid tadi dan mulai mengenali diri kita sendiri.

Mungkin film ini sedikit memberikan pencerahan ke diri saya saja barangkali. Karena saya yakin, dikomunitas ini, semua warganya sudah punya visi “perubahan” tadi. Buktinya saya mengiyakan apa yang pernah di tulis oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Roman Jejak Langkah-nya :
“Ilmu pengetahuan, betapa pun tingginya, dia tidak berpribadi. Sehebat-hebatnya mesin, dibikin oleh sehebat-hebat manusia dia pun tidak berpribadi. Tetapi sesederhana-sederhana cerita yang ditulis, dia mewakili pribadi individu atau malahan bisa juga bangsanya...”.

Disini, setiap tulisan yang katanya masih dalam tahap belajar menulis pun mampu meng-inspirasi saya, apalagi diperkenankan mengenal sosok-sosok hebat di balik tulisan-tulisan tadi, setidaknya pun kita sudah berada di trayek menuju perubahan itu tadi.

0 komentar:

Post a Comment

 

relax-breathe-smile Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei